Kamis, 30 Januari 2014

Degung Sunda

Degung atau Gamelan merupakan sekelompok waditra dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul. Istilah “degung” memiliki dua pengertian:

1 . Degung sebagai nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya;

2 . Degung sebagai nama laras(tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori 
R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara(tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti(4)). Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.

Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”.

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat),Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Yaitu Kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791--1828).

Gamelan Degung sendiri terdiri atas tujuh waditra pokok, yaitu:

1 . Bonang
2 . Saron Panerus (Penerus)
3 . Saron Cempres
4 . Jenglong
5 . Goong
6 . Kendang dan Kulanter
7 . Suling Degung (lubang 4)

Istilah waditra khususnya dalam degung dan umumnya dalam Karawitan Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan berkesenian. Istilah dalam musik “instrumen”.
a.    Bonang, terdiri dari 14 penclon dalam ancaknya. Berderet mulai dari nada mi alit sampai nada La ageng
b.    Saron/Cempres, terdiri dari 14 wilah. Berderet dari nada mi alit sampai dengan La rendah.
c.    Panerus, bentuk dan jumlah nada sama dengan saron/cempres, hanya berbeda dalam oktafnya.
d.    Jengglong terdiri dari enam buah. Penempatannya ada yang digantung dan ada pula yang disimpan seperti penempatan kenong pada gamelan pelog.
e.    Suling, suling yang dipergunakan biasanya suling berlubang empat.
f.     Kendang, terdiri dari satu buah kendang besar dan dua buah kendang kecil (kulanter). Teknis pukulan kendang asalnya dipukul/ditakol dengan mempergunakan pemukul. Dalam perkembangannya sekarang kendang pada gamelan degung sama saja dengan kendang pada gamelan salendro-pelog.
g.    Gong, pada mulanya hanya satu gong besar saja, kemudian sekarang memakai kempul, seperti yang digunakan pada gamelan pelog-salendro.
Keseluruhan waditra tersebut, kecuali suling, dimainkan dengan cara dipukul, sedangkan suling dimainkan dengan cara ditiup. Sedangkan tahun 1964, waditra gamelan degung mengalami penambahan, yaitu dilengkapi dengan waditra Gambang, sau buah Saron dan kadang-kadang Rebab.Para tokoh seniman penggarap degung diantaranya: Mang Oyo, Mang Idi, Mang Tarya, E Carmedi, Sukanda art, Kusstiara, dll. 

Fungsi Waditra

Untuk mengetahui fungsi waditra dalam gamelan degung, harus dibagi dahulu bentuk lagu yang dibawakan. Bentuk lagu yang terdapat pada gamelan degung terdiri dari dua bagian besar, yaitu: Lagu-lagu Kemprangan dan Lagu-lagu Gumekan . 
Lagu kemprangan tiada bedanya dengan bentuk Rerenggongan pada gamelan salendro. Biasanya lagu yang dibawakan berirama satu wilet atau keringan, misalnya lagu Jipang Lontang, Gambir Sawit, Kulu-Kulu, catrik dan lain-lain. Pada dasarnya posisi tabuh sama dengan posisi pada gamelan salendro.
Fungsi waditra pada lagu kemprangan ini adalah sebagai berikut:
·     Jengglong    = balunganing gending
·     Suling          = pembawa melodi
·     Kendang      = pengatur irama
·     Saron          = lilitan melodi
·     Bonang        = lilitan balunganing gending
·     Gong           = paganteb wilet

Gumekan sebenarnya nama teknis tabuhan, tetapi di sini bisa diartikan pula sebagai bentuk lagu degung yang khas dalam lagu-lagu ageng. Fungsi waditra pada gumekan sangat berbeda sekali dengan gending-gending lainnya, terutama dalam pembawa melodi lagu.
Fungsi waditra dalam lagu/gending ageng tabuh gumekan:
·     Bonang                        = pembawa melodi
·     Suling                          = lilitan melodi
·     Saron/Cempres            = lilitan melodi
·     Panerus                       = cantus firmus
·     Jengglong                    = balunganing gending
·     Gong                           = panganteb wiletan

Teknik/Motif Tabuhan pada Gamelan Degung

Waditra Bonang baik pada lagu-lagu bentuk kemprangan maupun bentuk “Gumekan” memerlukan kedua belah tangan yang dalam menabuhnya antara tangan kanan dan kiri ada yang bersamaan baik swarantara gembyang, kempyung dan Adu laras, bergantian (Sunda, Patembalan) sesuai notasi.
Untuk waditra berwilah pada Degung diperlukan teknik tengkepan yaitu tangan yang satu memukul tepat ditengah wilah panakol tegak dan tangan lainnya “nengkep” (memegang waditra untuk mengurangi efek tabuhan sehingga gelombang nadanya tidak menjadi panjang). Sedangkan waditra Jengglong yang menggunakan dua buah pemukul mempunyai ketentuan yaitu tangan kanan untuk nada: 1, 3, 5 alit dan tangan kiri untuk nada: 1, 4, 5
Waditra Kendang dan Suling disesuaikan dengan teknik masing-masing waditra dan kebutuhan.

Kemprangan

Kemprangan adalah cara membunyikan bonang antara tangan kiri dan kanan berjarak satu gembyang, nada gembyang ditabuh bersahut-sahutan.

Nama-nama Gending Degung

Gending-gending degung kemprangan dalam beberapa hal tidak ada bedanya dengan gamelan salendro, tetapi mempunyai kekhususan tertentu dalam lagunya, yaitu lagu-lagu yang jarang dipergunakan dalam gamelan salendro. Lagu-lagunya antara lain; Jipang Lontang, Jipang Prawa, Catrik, Gambir Sawit, Kulu-Kulu, Puspajala, Kunang-Kunang, Paron, dan lain-lain.
Dalam bentuk gumekan, lagu-lagunya antara lain: Palwa, Manintin, Sang bango, ladrak, Lalayaran, Ayun Ambing, Sunda Mekar, Kadewan, Pajajaran dan sebagainya.

Pada awalnya musik ini untuk acara keagamaan, tetapi sekarang digunakan untuk mengiringi sendratari, mengiringi gending karesmen (nyanyian resmi), dan sarana hiburan. Keberadaannya telah di kenal sejak zaman Pakuan Pajajaran.





Di kutip : Dari Berbagai sumbaer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar